TABUNGAN

Tiga hari adalah waktu yang tak panjang. Namun baginya menunggu hari pembagian tabungan itu rasanya amat lama.
“Kapan kau membuka tabunganmu, Singgih?” tanya ibunya pagi itu ketika Singgih akan ke sekolah.


“Kalau tak ada perubahan nanti sehabis pembagian raport kenaikan kelas, Bu…,” jawab Singgih.
“Ada berapa sih tabungannya ?”
“Sekita empat puluh ribu rupiah.”
“Hati-hati membawa pulang uang sebanyak itu.”
“Baiklah, bu…”
Siang harinya, ketika Singgih pulang dari sekolah, dia tak sabar lagi untuk menemui ibunya untuk mengabarkan kalau dirinya naik ke kelas enam. Tapi rumahnya nampak sepi. Semua pintu dan jendela tertutup rapat. Kemanakah ibu, pikirnya gelisah. Kemudian Singgih memanggil ibunya keras-keras. Tapi tak ada sahutan sama sekali. Kemudian ia mencoba mencarinya dikebun belakang. Ibunya juga tak didapatkan.
Beberapa saat kemudian Pak Kardi seorang tetangganya dengan tergopoh-gopoh tiba di rumah Singgih.
“Sudah lama kau tiba di rumah ?” tanya Pak Kardi sambil mendekat dimana Singgih duduk.
“Belum lama,” jawab Singgih gelisah. “Pak Kardi tahu dimana ibu pergi ?”
“Ke dokter,” kata Pak Kardi mengejutkan Singgih.
“Ke dokter? Kenapa dia ? Ada kecelakaan yang menimpanya ?” tanya Singgih bertubi-tubi.
“Cobalah tenang dulu,” Pak Kardi mencoba menenangkan hati Singgih. “Jam sepuluh tadi pagi ibumu mencuci piring dan. gelas. Tiba-tiba sebuah gelas terjatuh dan pecah berkepingkeping. Karena ibumu tak memperhatikan pecahan gelas, kakinya menginjak pecahan gelas tadi hingga luka sedalam dua sentimeter. Oleh karena itu, aku secepat mungkin mengantarnya ke dokter. Oleh dokter luka itu dijahit. Dan karena ibumu tak ada uang, aku disuruhnya menyusulmu kesekolah. Tapi di sekolah sudah sepi, tak ada seorangpun anak di sana.”
“Maksudnya mau memberi kabar kepada saya ?” Singgih menyela.
“Ya. Tapi yang pling penting, aku disuruh ibumu untuk memintakan uang tabunganmu untuk membayar biaya pengobatan itu.”
Singgih diam. Hatinya benar-benar sedih. Berat rasanya memberikan uang itu. Tapi apa boleh buat, demi kesehatan ibunya uang itu diserahkan kepada Pak Kardi.
Tak sampai dua minggu, ibu Singgih telah sehat kembali. Hal itu menjadikan hati mereka gembira. Namun demikian, hati Singgih sangat sedih ketika ingat uang tabungannya telah habis untuk membayar pengobatan ibunya.
“Singgih,” ibunya memanggil ketika Singgih sedang duduk melamun di muka pintu.
“Ya, Bu…,” jawabnya dan mendekat ke tempat ibunya.
“Duduklah,” ujar ibunya. “Kau memang anakku satu-satunya yang baik hati…Kau telah mengorbankan uangmu untuk pengobatan ibu. Ikhlas bukan?”
Singgih mengangguk lemah. Nampak sedih juga.
“Baiklah. Kalau begitu uang tabungan ibu yang ada dalam tiang bambu itu boleh kau ambil untuk keperluanmu.”
“Ibu punya tabungan?” tanya Singgih.
“Ibu menerima uang pensiun sejak ayahmu meninggal setahun yang lalu itu, ibu pasti menyisihkan sebagian uang itu untuk ditabung.”
“Kalau begitu terima kasih, Bu…,” ucap Singgih terharu.