Di negeri batang tabik, yang sekarang
sudah termasuk dalam kota Payakumbuh, hiduplah seorang kaya. Mak Isun orang
menyebutnya. Waktu mudanya menjadi kusir bendi. Bendi yang dipakainya milik
orang lain yang disewa. Dia seorang yang rajin dan hemat. Bendinya selalu
bersih dan kudanya terpelihara dengan baik sehingga orang pun lebih suka
menumpang pada bendi Mak Isun. Ketika pemiliknya meninggal, bendi dan kuda itu
dibeli Mak Isun dengan cicilan.
Setelah
menjadi pemilik, Mak Isun tidak lagi membayar sewa. Namun uang sewanya tetap
dikeluarkan dan dimasukkan kedalam tabungan. Lama-lama uang sewa yang ditabung
itu dapat pula membeli bendi berikut kudanya dan bendi itu disewakannya pada
orang lain. Sampai pada suatu masa, Mak Isun telah memiliki delapan bendi
berikut kudanya. Memiliki bendi sebanyak itu terbilang luar biasa. Sejak itu
namanya menjadi Mak Isun Kayo, Mak Isun yang kaya.
Meski
menjadi orang kaya, gaya hidup Mak Isun tidak berubah. Ia tetap menjadi orang
yang hemat. Malah sangat cermat mengawasi bendi dan kudanya, apakah
dirawat oleh kusir yang memakai. Semua bendi dan kuda dikandangkan di halaman
rumahnya. Apa-apa yang rusak atau usang diperbaiki dan diperbaruinya. Kusir
yang memakai berkewajiban memelihara kebersihan bendi dan memberi makan kuda
dan memandikannya setiap hari. Menurut pendapat Mak Isun, “ Bendi yang bagus,
kuda yang kuat, disukai penumpang.”
Sejak itu, Mak Isun tidak lagi membawa bendi. Oleh karena
itu, dia mempunyai banyak waktu yang senggang. Banyak waktu yang senggang itu
tidak menyenangkannya karena dia sudah terbiasa sibuk sejak kecil. Maka Mak
Isun merasa perlu mencari usaha lain agar dia tetap sibuk dan sekaligus
kekayaannya akan bertambah-tambah pula.
Di negeri
itu, ada pula seorang yang bernama Sole. Pekerjaannya, menurut istilah penduduk
disana, “tukang beruk” Pekerjaan menerima upah memetik kelapa dengan
menggunakan beruk. Setiap pohon yang dipetik, dia mendapat upah tiga sampai
lima kelapa. Tergantung dari jauh dekat kebun kelapa itu. Adakalanya upah yang
diterima Sole sampai dua puluh lima buah kelapa dalam sehari.
Akan
tetapi, Sole bukanlah pemilik beruk. Beruk itu disewanya dari Pak Kari dengan
pembayaran sekali seminggu sebanyak lima belas kelapa. Sole yang memelihara.
Ada lima orang lain yang menyewa beruk Pak Kari. Berhubung akan menunaikan
ibadah haji ke Mekah, Pak Kari ingin menjual semua beruknya. Tak seorangpun
penyewa mampu membeli.
Niat Pak
Kari itu terdengar sampai ketelinga Mak Isun, Dia ini mempunyai naluri dagang.
Dia mencoba-coba menghitung keuntungan yang akan diperolehnya dengan membeli
beruk itu. Akhirnya, dibelinyalah keenam beruk Pak Kari. Kepada penyewa, Mak
Isun mewajibkan semua upah petik yang mereka peroleh mesti dijual kepadanya.
Jadi dia mendapat keuntungan yang lumayan, yaitu dari sewa beruk dan dari
kelapa yang dibelinya dengan harga miring. Kelapa itu tidak dijualnya,
melainkan dicongkel dagingnya dan dijemur jadi kopra. Lambat laun dia akan jadi
pedagang kopra.
Dengan
cara demikian, dalam masa setahun berikutnya Mak Isun telah membeli hampir
seluruh beruk yang ada disekitar negeri Batang Tabik.
Tibalah
suatu masa harga kopra naik harganya. Karena pedagang besar di Padang mesti
menyerahkan kopra sebanyak yang telah dijanjikan pengusaha minyak di luar
negeri. Tahu akan harga kopra naik, tahu bahwa dia satu-satunya punya beruk di
daerah yang ratusan pohon kelapa itu, otak dagang Mak Isun berputar dengan
cepat. Dia mau mengambil kesempatan mendapat keuntungan yang lebih banyak.
Berkatalah dia kepada semua penyewa beruknya, “Mulai besok sewa beruk lima
kelapa sehari.”
“Bagaimana
kami biasa hidup, Angku?” kata mereka.
“Naikkan
upah petik tiga kali,” kata Mak Isun.
“Mana
mereka mau,” kata mereka pula.
“Kalau
mereka tidak mau, biar saja kelapa mereka tua dibatang,” kata Mak Isun pula.
“Kalau
tidak ada kelapa yang kami turunkan, dengan apa kami akan makan?” tanya mereka.
Para
tukang beruk itu orang-orang yang tidak bersekolah. Oleh karena itu, mereka
tidak tahu cara perhitungkan dagang Mak Isun. Kalau mereka sepakat meminta upah
kutip tiga kali dari sebelumnya, pemilik pohon kelapa akan menerima saja. Toh
pemilik pohon tidak pandai menurunkan kelapa itu sendiri. Pemilik tidak akan
rugi karena pohon kelapa itu warisan dari orang tua mereka. Harga kelapa pun
sudah naik. Namun, tukang beruk itu tidak dapat menerima keputusan Mak Isun.
Besok
pagi, alangkah kagetnya Mak Isun. Ketika dia membuka jendela kamarnya, seekor
beruk menyeringainya. Di kala dia membuka pintu depan, seekor beruk yang lain
menyambut dengan cibiran dan seringai. Dibukanya pintu belakang, ada juga beruk
di situ. Di jendela yang lain pun begitu. Rumahnya betul-betul dikepung oleh
belasan beruk yang diikatkan penyewanya sehingga Mak Isun tidak bisa keluar.
Meski dia
berteriak minta tolong, tak seorang pun tetangga yang berani mendekati
beruk-beruk itu. Malahan para tetangga sama tertawa geli melihat beruk-beruk
itu mencibir orang terkaya seperti Mak Isun itu.
Tambah
lama tambah banyak juga orang disekelilingnya. Seperti akan menonton apa yang
akan terjadi selanjutnya.
Terpikir
oleh Mak Isun, kalau beruk-beruk sampai berhari-hari diikatkan di sana dan
tidak diberi makan, akan apa jadinya kelak. Mungkin rumahnya akan diobrak-abrik
beruk yang marah karena lapar. Mungkin juga kusir bendi sewaannya akan
melakukan hal yang sama. Sama mengikatkan kuda disekitar rumahnya. Namun, Mak
Isun tidak khawatir karena kuda jinak mudah diatur. Beda dengan beruk, yang
demi melihat Mak Isun lansung menyeringai dan mencibir seperti mengancamnya.
Akhirnya, Mak Isun mengalah juga. Menanglah perjuangan beruk itu dengan cara
mogok.
Bertahun-tahun
kemudian, peristiwa itu masih jadi bahan cerita orang di kedai-kedai kopi.
Mereka sama tertawa geli mengenangkan bagaimana gaya Mak Isun yang kaya di
cibir dan diseringai beruk yang jadi miliknya sendiri.
“Jadilah
engkau orang kaya, tapi jangan serakah,” nasihat orang alim di kampung itu
mengambil hikmah dari peristiwa itu.