Alkisah, pada zaman
dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara,
hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil.
Anaknya yang pertama seorang laki-laki yang diberi nama Tare Iluh, sedangkan
yang kedua seorang perempuan yang diberi nama Beru Sibou. Keluarga kecil itu
tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan
itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga
meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya,
sang istrilah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk
menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari harus
bekerja keras, akhirnya wanita itu pun jatuh sakit dan meninggal dunia. Si Tare
dan adik perempuannya si Beru yang masih kecil akhirnya menjadi anak yatim
piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka
sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibiknya, adik perempuan dari ayah
mereka.
Waktu terus berjalan.
Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou,
tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Tare
Iluh sudah mulai berpikir secara dewasa. Dan ia memutuskan untuk pergi merantau
mencari uang dengan hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin
terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.
“Adikku, Beru!”
demikian Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, bang?!”
jawab Beru.
“Kita sudah lama
diasuh dan dihidupi oleh bibik. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak
laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin
pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat kamu?” tanya Tare
Iluh kepada adiknya.
“Tapi, bagaimana
dengan aku, bang?” Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di sini
saja menemani bibik. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku
akan segera kembali menemanimu dan bibik di sini.” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, bang! Tapi, abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil!” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.
“Baiklah, bang! Tapi, abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil!” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.
“Tentu, adikku!” kata
Tare dengan penuh keyakinan.
Keesokan harinya,
setelah berpamitan kepada bibik dan adiknya, Tare Iluh berangkat untuk merantau
ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa
seperti kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya
yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya
bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.
Sudah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya,
tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak
tahu apa yang dilakukan abangnya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di
perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia
beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang
tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, Tare Iluh hanya sekali menang
dalam perjudian itu, yaitu saat pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus
mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya
habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam
perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang
taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.
Tak terasa, hutangnya
pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, Tare Iluh pun
dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga
adiknya Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya
yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi
mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada.
Berhari-hari Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri
hutan belantara dan menyeberangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya.
Suatu ketika, Beru Sibou bertemu dengan seorang kakek tua.
“Selamat sore, kek!”
tanya Beru.
“Sore, cucuku! Ada
yang bisa kakek bantu?”
“Iya, kek! Apakah
kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?”
“Tare Iluh, kek!”
“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku!
Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar
namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”
“Benar, kek! Saya
juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk
tempat ia berada sekarang. Apakah kakek tahu di mana negeri itu?”
“Maaf, Cucuku! Kakek
juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin
menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek
itu?”
“Panjatlah sebuah
pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama
abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya.”
Setelah menyampaikan
sarannya, sang kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir
panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga
ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil
abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung
abangnya agar sudi melepaskan abangnya.
Sudah berjam-jam Beru
Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang
mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan
berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua
tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya, Tuhan! Tolonglah
hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dengan merelakan air
mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku untuk dimanfaatkan bagi kepentingan
penduduk negeri yang memasung abangku.”
Baru saja kalimat
permohonan itu lepas dari mulut Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang,
langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara
guntur yang menggelegar. Air matanya menjelma menjadi nira (tuak) yang berguna
sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk
atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah
kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
Suatu hari, jelmaan
Beru Sibou bertemu dengan seseorang, dan ia menceritakan tentang abangnya Tare
Iluh yang dipasung dan pengorbanannya, agar abangnya dilepaskan. Ternyata orang
itu adalah penduduk dari negri tempat abangnya dipasung. Setelah orang itu
bercerita kepada semua penduduk di negrinya, akhirnya Tare Illuh dibebaskan.
Demikianlah cerita
“Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah
Karo masih meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan Beru Sibou. Untuk
mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu menyanyikan
lagu enau setiap kali mereka ingin menyadap nira.
Cerita di atas
termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di
antaranya adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi
persaudaraan, serta mengetahui akibat buruk dari suka bermain judi. Sifat
tenggang rasa ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi
nilai tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan
raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang
telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari
hukuman pasung. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk
dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.