Bujang Kirai seorang remaja lelaki yang baik hati dan sakti mandraguna. Ia adalah keponakan Raja Sutan Panduko dari Negeri Muaro Bodim, Sumatera Barat. Suatu ketika, ia
diutus oleh ibunya untuk membebaskan sang paman, Sutan Panduko, yang ditawan
olehRaja Baduatai dari Kerajaan Ampu Baroyo. Mampukah Bujang
Kirai membebaskan pamannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Bujang Kirai yang Pemberani berikut
ini.
Dahulu, di sekitar pesisir barat daerah Sumatra Barat
ada seorang raja muda dan tampan bernama Sutan Panduko. Ia adalah raja yang
adil dan bijaksana sehingga negerinya pun makmur. Seluruh rakyat sangat
mencintainya. Sifat raja yang baik itu berkat bimbingan kakaknya yang bernama
Siti Asanah. Siti Asanah mempunyai seorang putra bernama Bujang Kirai.
Perempuan yang terkenal arif ini senantiasa mendidik putranya dengan ajaran
moral dan budi pekerti sesuai dengan ajaran agama dan adat. Selain itu, Siti
Asanah juga membekali anaknya dengan kesaktian ilmu bela diri.
Suatu hari, terdengar kabar bahwa Raja Baduatai yang
terkenal kejam dari Kerajaan Ampu Baroyo hendak mengadakan sayembara adu ayam
guna mencarikan jodoh untuk putrinya yang bernama Putri Sawang Dilangit. Sutan
Panduko yang masih bujangan berniat untuk mengikuti sayembara tersebut. Niat
itu ia sampaikan kepada kakaknya. Mulanya, Siti Asanah mencegahnya karena ia
tahu sifat dan perengai Raja Baduatai.
“Jangan, Adikku. Bukankah kamu tahu sendiri siapa Raja
Baduatai? Aku tidak ingin terjadi sesuatu kepada dirimu,” cegah Siti Asanah.
“Tapi, saya mendengar kabar bahwa Putri Sawang
Dilangit adalah putri yang baik dan rendah hati. Jika berhasil memenangi sayembara
itu, saya akan memboyongnya ke istana ini,” kata Sutan Panduko.
Sejenak, Siti Asanah terdiam, lalu berkata kepada
adiknya.
“Baiklah, kalau itu keinginanmu. Tapi, ingat! Kamu
harus berhati-hati saat berhadapan dengan Raja Baduatai yang zalim dan serakah
itu!” pesan Siti Asanah.
Sutan Panduko segera mempersiapkan segala sesuatunya,
termasuk ayam kurik rintik kesayangannya. Ayam jago miliknya itu terkenal sakti
dan sudah berkali-kali memenangi pertandingan adu ayam. Dengan percaya diri,
Sutan Panduko segera menuju Kerajaan Ampu Baroyo. Setiba di sana, para peserta
dari berbagai negeri telah berkumpul. Di antara peserta, hadir pula seorang
raja bernama Sutan Dihulu yang terkenal licik.
Keesokan harinya, pertandingan sabung ayam dimulai.
Para peserta telah berkumpul di arena pertandingan di halaman istana. Raja
Baduatai bersama permaisuri dan putrinya telah hadir untuk menyaksikan jalannya
pertandingan. Para penonton dari berbagai kalangan sudah berdatangan untuk
memberi semangat kepada jagoan masing-masing.
Sesaat kemudian, gong pun dibunyikan sebagai tanda
dimulainya pertandingan. Satu per satu para peserta masuk ke arena pertandingan
untuk mengadu ayam jago masing-masing. Selama pertandingan berlangsung, sang
Putri terlihat tegang dan berharap-harap cemas menanti siapa yang bakal menjadi
pendamping hidupnya.
“Ya Tuhan! Siapapun pemenang pertandingan ini, hamba
berharap dia adalah calon suami yang baik, arif, dan bijaksana,” doa Putri
Sawang Dilangit.
Pertandingan sabung ayam itu telah berlangsung selama
3 jam. Sudah banyak ayam yang berguguran di arena pertadingan. Kini, tinggal
ayam jago milik Sutan Panduko dan Sutan Dihulu yang bertahan. Keduanya pun siap
untuk ditarungkan. Mulanya, ayam jago milik Sutan Dihulu menyerang terlebih
dahulu. Serangannya bertubi-tubi hingga ayam jago milik Sutan Panduko kewalahan
menghindari serangan itu. Ketika ayam jago Sutan Dihulu mulai kelelahan, ayam
kurik rintik berbalik menyerang. Dengan sekali terjang, ayam Sutan Dihulu pun
jatuh tersungkur di tanah dan tewas seketika.
Melihat kejadian itu, Sutan Dihulu murka. Ia tidak mau
menerima kekalahan itu. Maka, ia langsung menyerang Sutan Panduko. Namun,
serangan-serangan itu dapat dipatahkan oleh Sutan Panduko. Sutan Dihulu pun
semakin marah. Dengan kalap, ia mencabut kerisnya.
“Terimalah serangan kerisku ini!” teriaknya seraya
menikamkan keris ke tubuh Sutan Panduko.
Sutan Panduko berkelit dengan gesit sehingga serangan
Sutan Dihulu hanya menyambar angin. Merasa diremehkan, Sutan Dihulu semakin
gencar menyerang. Namun, lama-kelamaan tenaganya habis terkuras. Pada saat yang
tepat, Sutan Panduko menepis dan menangkap keris lawannnya lalu keris itu ia
balik dan ditikamkan ke dada Sutan Dihulu. Tak ayal, raja yang licik itu tewas
seketika terkena senjatanya sendiri.
Melihat peristiwa itu, Raja Baduatai segera bangkit
dari singgasananya.
“Prajurit! Buang mayat itu ke laut dan tangkap raja
muda itu!” titah Raja Bauatai.
Akhirnya, Sutan Panduko dijebloskan ke dalam penjara.
Meskipun ayam kirik jagoannya telah memenangi sayembara itu, ia dianggap tidak
berhak menikahi sang Putri karena telah melakukan pembunuhan. Ayam jagonya pun
disita oleh Raja Baduatai.
Sementara itu, para pengawal Sutan Panduko cepat-cepat
kembali Muaro Bodim untuk melaporkan peristiwa itu kepada Siti Asanah.
“Ampun, Baginda Ratu! Hamba ingin melapor,” lapor
salah seorang dari pengawal tersebut.
“Apa yang terjadi dengan adikku, pengawal?” tanya Siti
Asanah dengan cemas.
“Ampun, Baginda Ratu! Sutan Panduko ditawan oleh Raja
Baduatai,” jelas si pengawal.
Pengawal itu kemudian menceritakan semua peristiwa
yang dialami oleh Sutan Panduko hingga akhirnya ditawan oleh Raja Baduatai.
Mendengar cerita itu, Siti Asanah menjadi marah.
“Ini tidak bisa dibaiarkan. Raja Baduatai yang angkuh
harus diberi pelajaran,” ujar Siti Asanah geram. “Pengawal! Tolong panggilkan
putraku, Bujang Kirai!”
“Baik, Baginda Ratu,” jawab pengawal itu.
Tak berapa lama kemudian, pengawal itu kembali bersama
Bujang Kirai.
“Ada apa Bunda memanggilku?” tanya Bujang Kirai sambil
menatap mata ibundanya yang berkaca-kaca.
“Ketahuilah, Putraku! Pamanmu sedang ditawan oleh Raja
Baduatai,” ungkap Siti Asanah.
“Apa? Paman Sutan Panduko ditawan?” tanya Bujang Kirai
dengan terkejut.
“Benar, Putraku. Kita harus segera bertindak. Untuk
itu, Bunda akan mengutusmu ke Ampo Baroyo untuk membebaskan pamanmu,” kata Siti
Asanah. “Tapi, kamu harus berangkat sendirian, Putraku.”
“Baik, Bunda,” jawab Bujang Kirai.
Rupanya, Siti Asanah yang bijak itu sudah mengetahui
kemampuan putranya. Ia tidak ingin menyerang Raja Baduatai dengan mengerahkan
pasukannya karena ia juga tahu jika pasukan raja Buatai sangat besar. Dengan
hanya mengutus Bujang Kirai seorang diri, ia berharap putranya itu dapat
menyelinap masuk ke dalam istana dan membinasakan Raja Baduatai yang keji itu.
Tidak lupa, Siti Asanah membekali putranya dengan siraut, pisau
kecil berujung bengkok, pusaka warisan dari ayahnya.
Setiba di Kerajaan Ampu Baroyo, Bujang Kirai dengan
hati-hati menyelinap masuk ke dalam istana. Dengan kecerdikannya, ia mencari
tahu di mana keberadaan pamannya sekaligus mencari tahu rahasia kekuatan Raja
Baduatai. Alhasil, ia berhasil memperoleh keterangan dari salah seorang penjaga
bahwa rahasia kekuataan Raja Baduatai bahwa kekuataannya akan berkurang ketika
ia ingin membuang air kecil di waktu bangun pagi.
Ketika fajar mulai menyingsing di ufuk timur, Bujang
Kirai dengan kesaktiannya menyelinap masuk ke kamar Raja Baduatai tanpa
diketahui penjaga. Namun, Raja Baduatai tak kalah saktinya. Ia yang sedang
terlelap langsung terbangun karena mengetahui kedatangan tamu tak diundang.
“Hai, anak muda. Siapa kamu dan kenapa masuk ke dalam
kamarku?” tanya Raja Baduatai dengan kesal.
“Aku Bujang Kirai dari Kerajaan Muaro Bodim. Aku ke
mari hendak membebaskan pamanku, Sutan Panduko,” jawab Bujang Kirai dengan
tenang.
“Dasar anak bodoh! Kamu ke sini hanya untuk
mengantarkan nyawa!” hardik Raja Baduatai. “Pergi dari sini kalau mau selamat!”
“Tidak, aku tidak akan pergi sebelum pamanku
dibebaskan!” tegas Bujang Kirai.
Raja Baduatai menjadi sangat marah. Tiba-tiba ia
melayangkan tangannya hendak menampar Bujang Kirai. Namun, tanpa diduga,
tamparan itu dengan mudah dielakkan. Melihat hal itu, ia baru sadar bahwa
pemuda yang dihadapinya ternyata berilmu cukup tinggi.
Raja Baduatai pun mengeluarkan segala kemampuannya.
Pertarungan sengit tak terelakkan. Mulanya, Raja Baduatai terlihat tangguh.
Serangannya datang secara bertubi-tubi. Namun, lama-kelamaan, Raja Baduatai
ingin buang air. Pikirannya pun bercabang. Ketika ia lengah, Bujang Kirai
segera menikamnya dengan siraut pusaka. Raja yang kejam itu
pun tewas.
Kabar tentang tewasnya Raja Baduatai pun diketahui
oleh penghuni istana. Bahkan, kabar itu telah tersebar ke seluruh penjuru
Negeri Ampu Baroyo. Seluruh rakyat pun berbondong-bondong dan berkumpul di
halaman istana. Di hadapan mereka, berdiri salah seorang punggawa kerajaan
untuk menyampaikan ucapan bela sungkawa.
“Wahai, seluruh rakyat Ampu Baroyo. Raja kita sudah
wafat. Beliau tewas di ujung siraut Bujang Kirai,” kata
punggawa kerajaan itu.
Mendengar kabar itu, rakyat bukannya bersedih
melainkan bersorak gembira.
“Hancurlah kezaliman… hancurlah kezaliman…!”
Punggawa kerajaan itu kemudian kembali berkata,
“Baiklah, saudara-saudaraku. Yang mati mari kita kuburkan, yang tinggal mari
kita pelihara!”.
Setelah Raja Baduatai dimakamkan, para punggawa istana
dan seluruh rakyat negeri itu mengadakan musyawarah untuk mencari pengganti
raja.
“Sesuai dengan adat negeri ini, kita harus memilih
seorang raja baru. Menurut kalian, siapa yang berhak menjadi raja?” tanya
punggawa istana.
“Kita semua sudah tahu bahwa orang yang telah berjasa
menghancurkan kezaliman di negeri ini adalah Bujang Kirai. Maka, alangkah
baiknya jika pahlawan ini kita angkat menjadi raja,” ujar seorang peserta
sidang.
Seluruh rakyat Ampu Baroyo menyetujui. Namun, Bujang
Kirai sendiri menolaknya.
“Maaf, kedatangan saya ke mari bukan untuk merebut
kekuasaan, tetapi ingin membebaskan paman saya, Sutan Panduko,” kata Bujang
Kirai, “Sebaiknya, tampuk kerajaan ini kita serahkan kepada Putri Sawang
Dilangit. Dialah yang lebih berhak menjadi raja di negeri ini. Busuk
tebu sebatang, belum tentu busuk ke surumpunnya.”
Akhirnya, Putri Sawang Dilangit pun dinobatkan sebagai
Raja Ampu Baroyo yang baru. Sementara itu, Bujang Kirai membawa pamannya
pulang. Setelah kesehatannya kembali pulih, Sutan Panduko kembali memerintah
Kerajaan Muaro Bodim dengan arif dan bijaksana. Semua itu adalah berkat jasa
dan keberanian Bujang Kirai.
* *
*
Demikian cerita Bujang Kirai Yang Pemberani dari Sumatera Barat.Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di
atas adalah bahwaRaja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah. Raja
yang zalim seperti Raja Baduatai tidak akan dihargai atau dihormati oleh
rakyatnya. Sementara itu, orang pemberani dalam membela kebenaran seperti
Bujang Kirai akan dihormati dan dikenang jasa-jasanya.