Hari itu, tampak
seorang lelaki setengah baya berjalan seorang diri menuju ke hutan untuk
mencari kayu bakar. Saat sedang asyik mengumpulkan ranting-ranting kayu yang
sudah kering, tiba-tiba ia melihat sebatang pohon sipeu (nama buah yang
terdapat di Siberut Utara). Rupanya, pohon sipeu itu sedang berbuah lebat dan
mulai masak. Maka, ia pun membuat garis lingkaran di tanah mengelilingi batang
pohon itu.
“Semoga buah
pohon sipeu ini jatuh di dalam lingkaran yang ku buat ini sehingga akan menjadi
milikku,” gumam lelaki setengah baya itu dengan penuh harapan.
Usai berkata
demikian, lelaki setengah baya itu pun pulang sambil memikul kayu bakar yang
telah dikumpulkannya. Selang beberapa saat kemudian, datang pula seorang lelaki
lain di tempat itu. Saat melihat garis lingkaran di bawah pohon sipeu itu, ia
pun tertarik untuk membuat garis lingkaran yang lebih luas.
“Ah, aku juga
mau membuat garis lingkaran di sini. Semoga buah sipeu ini jatuh di dalam
lingkaranku,” harapnya seraya meninggalkan tempat itu.
Keesokan harinya,
pagi-pagi sekali si lelaki yang pertama kembali mendatangi tempat itu. Mulanya,
ia merasa senang karena melihat ada sebuah sipeu yang sudah masak jatuh di
garis lingkarannya. Namun, ketika hendak mengambil buah itu, tiba-tiba
pandangannya tertuju pada sebuah sipeu lain yang lebih besar dan tergeletak di
dalam garis lingkaran yang dibuat oleh orang lain. Pada saat itulah muncul
sifat serakahnya.
“Ah, masak aku
yang lebih awal membuat garis lingkaran hanya mendapatkan buah sipeu kecil?”
gumamnya. “Selagi orang itu belum datang, sebaiknya aku tukar saja buah sipeu
itu.”
Lelaki yang
serakah itu cepat-cepat mengambil buah sipeu yang besar kemudian menaruh sipeu
kecil miliknya ke dalam garis lingkaran orang lain. Setelah itu, ia bergegas
kembali ke rumahnya dengan perasaan senang. Sepeninggal lelaki paruh baya itu,
lelaki yang kedua pun tiba di tempat itu. Betapa senang hatinya saat melihat
sebuah sipeu kecil tergeletak di dalam garis lingkarannya. Namun, ketika hendak
mengambil buat itu, ia merasa ada sesuatu yang janggal pada tempat buah itu
terjatuh. Jejak buah yang tercetak di tanah itu tidak sama dengan buah sipeu
miliknya.
“Hai, kenapa
jejak buah sipeu ini jauh lebih besar daripada buahnya?” gumam lelaki itu,
“Pasti ada sesuatu yang tidak beres.”
Merasa curiga,
lelaki kedua itu pun segera memeriksa garis lingkaran milik orang lain.
Dugaannya benar. Setelah mencocokkan jejak yang ada di garis lingkaran itu
dengan buah sipeu yang dipegangnya ternyata ukurannya sama persis. Dengan
perasaan kecewa, ia pun membawa pulang buah sipeu itu. Setiba di rumah, ia
kemudian berpikir bahwa seseorang pasti telah berlaku tidak adil pada dirinya.
Ia merasa telah ditipu dan tenggelam dalam perasaan resah. Tak mau berlama-lama
terhanyut dalam perasaan tertipu dan resah, maka ia pun berniat untuk
menyelidiki siapa yang telah melakukan kecurangan itu.
“Ah, aku harus
mencari tahu siapa orang yang telah menipuku itu,” tekadnya.
Keesokan
harinya, lelaki yang kedua itu datang lebih pagi ke hutan. Ia kemudian memanjat
pohon sipeu itu lalu mengambil dua buahnya dengan ukuran yang berbeda. Buah
sipeu yang lebih besar diletakkan di garis lingkaran miliknya, sedangkan buah
sipeu yang kecil diletakkan di garis lingkaran orang lain. Setelah itu, ia
bersembunyi di balik semak-semak.
Tak berapa lama
kemudian, lelaki yang pertama pun datang. Dengan cepat-cepat ia kembali menukar
buah sipeu kecil yang jatuh di lingkrannya dengan buah sipeu besar milik orang
lain. Lelaki kedua yang menyaksikan kejadian itu pun jadi tahu bahwa orang yang
telah menipunya selama ini adalah tetangganya sendiri, orang sekampung di
Simatalu. Karena tidak ingin terjadi pusabuat (perpecahan) di antara mereka, ia
memilih mencari daerah baru untuk tempat tinggal.
Suatu hari,
lelaki yang kedua beserta seluruh sanak keluarganya meninggalkan kampung
Simatalu. Mereka berlayar tanpa arah dan tujuan yang jelas. Setelah beberapa
hari mengarungi samudera, sampailah mereka di suatu daerah yang bermuara dua.
Rombongan ini singgah sejenak di daerah itu dan memeriksa keadaan sekitar. Setelah
memeriksa kondisi cuaca dan iklim, ternyata daerah tersebut dianggap tidak
bagus untuk dijadikan tempat tinggal. Akhirnya rombongan ini memutuskan untuk
meninggalkan daerah itu. Namun, sebelum pergi, mereka menamakan daerah tersebut
dengan nama Dua Monga (dua muara).
Rombongan ini
akhirnya melanjutkan pelayaran hingga sampai di suatu daerah yang lain. Ketika
kapal mereka tiba daerah itu, anjing yang mereka bawa mendahului turun. Maka,
daerah itu pun mereka namai Majojok. Setelah mereka memeriksa keadaan alamnya,
ternyata daerah itu tidak cocok juga untuk dijadikan tempat tinggal. Akhirnya,
mereka pun memutuskan untuk mencari daerah lain.
Setelah beberapa
hari berlayar, rombongan pengembara itu sampai pada suatu daerah. Ketika hendak
turun dari kapal, gelang salah seorang anggota rombongan terjatuh. Maka daerah
itu mereka namakan Bele Raksok, yang artinya gelang jatuh. Usai memeriksa
keadaan di sekitarnya, daerah itu juga dinilai masih belum cocok untuk
dijadikan tempat tinggal.
Rombongan pun
kembali berlayar hingga sampai di sebuah daerah di Siberut Selatan. Pemandangan
di sekitar daerah tersebut sungguh mempesona. Pantainya berpasir putih sehingga
tampak bagus dan indah. Mereka pun menamai daerah itu Bulau Buggei, yang
artinya pasir putih. Namun, setelah diteliti, ternyata daerah itu masih
dianggap kurang cocok sehingga mereka pun melanjutkan pelayaran.
Setelah beberapa
hari berlayar, rombongan itu kembali berlabuh di sebuah daerah di Siberut
Selatan. Oleh karena daerah itu memiliki banyak Muntei, maka mereka menamainya
Muntei. Setelah diteliti, daerah itu juga tidak juga cocok dijadikan tempat
untuk menetap. Akhirnya, mereka kembali meneruskan pelayaran. Di tengah
perjalanan, rombongan itu mulai dilanda rasa putus asa.
“Sudah banyak
daerah kita kunjungi, tapi belum juga ada yang cocok untuk dijadikan tempat
menetap. Ingin kembali ke Simatalu juga sudah tidak mungkin,” ungkap salah
seorang rombongan itu.
“Kalau begitu,
sebaiknya kita meneruskan pelayaran,” ujar seorang anggota rombongan yang lain.
Akhirnya,
rombongan itu kembali melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah pulau yang
banyak terdapat pohon Paddegat. Mereka pun menamai pulau itu Pulau Mapaddegat.
Pulau ini kini termasuk ke dalam wilayah Sipora. Karena tempat itu tidak cocok
untuk dijadikan tempat menetap, rombongan ini akhirnya meneruskan pelayaran.
Pelayaran
kembali dilanjutkan hingga rombongan tiba di Tuapejat yang masih termasuk ke
dalam wilayah Sipora. Setelah diteliti, daerah itu memiliki cuaca dan iklim
yang bagus sehingga mereka pun memutuskan untuk menetap di sana. Mereka mulai
membangun rumah dan membuka lahan perkebunan untuk ditanami. Daerah itu terus
berkembang sehingga lama-kelamaan menjadi kampung yang ramai. Hingga kini,
Tuapejat menjadi sebuah nama desa di wilayah Kecamatan Sipora Utara sekaligus
sebagai ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai.